Wednesday, November 11, 2009

Konsep Pengembangan

PENGERTIAN
Pengertian tentang “penyediaan infrastruktur pada permukiman perdesaan potensial” ini berangkat dari pemahaman dasar yang diawali dengan; Apakah yang disebut dengan permukiman perdesaan potensial? Selanjutnya kata kunci ‘potensial’ ini akan memposisikan konsep dasar potensi yang dikembangkan dalam suatu permukiman perdesaan. Akhirnya bertolak dari platform kinerja permukiman akan didapatkan sejauhmana kebutuhan infrastruktur yang perlu disediakan dalam suatu permukiman perdesaan potensial?
Kawasan Permukiman Perdesaan
Permukiman perdesaan yang diangkat dari Undang-undang no 4 tahun 1992 menyebutkan bahwa permukiman (perdesaan) merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung dan berfungsi sebagai lingkungan hunian atau tempat tinggal dan penghidupannya. Penekanan diberikan pada kata ‘berfungsi’. Doxiadis (1965) juga memandang kata fungsi sebagai penekanan dengan menempatkan permukiman dalam 2 (dua) elemen yaitu (i) content (man, alone and in societies) dan (ii) container (physical settlement). Lebih dalam lagi elemen tersebut berupa alam (nature), perlindungan/hunian (shell) jaringan (network), manusia (man) dan masyarakatnya (society). Keduanya, konten dan container tersebut membentuk suatu korelasi fungsi dari keberadaan suatu permukiman.
Dimensi Perdesaan Potensial
Echols dan Shadily, dalam kamusnya mengartikan potensi sebagai sebuah daya, dan potensial adalah kemampuan atau kekuatan. Bagaimana hal ini berkait denga
n permukiman perdesaan di atas?

Pertama, berangkat dari UU No. 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa kawasan perdesaan mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Perundangan ini menempatkan secara normatif bahwa potensi dikembangkan melalui fungsi kawasan dalam dimensi tertentu baik sebagai tempat bermukim, pelayanan jasa, pemerintah dan sosial dan kegiatan ekonomi. Namun pertanyaannya, adalah apakah hal tersebut telah mewakili pemahaman permukiman perdesaan potensial?

Kedua, bertolak dari kata ‘fungsi’ pada pembahasan perm
ukiman perdesaan dan kemudian dikaitkan dengan pemahaman empiris bahwa permukiman perdesaan lebih dipandang dengan adanya peran kuat dari elemen alam (nature). Fungsi alam dalam kinerja elemen permukiman perdesaan menunjukkan pengembangan alam sebagai sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa dorongan pertumbuhan ekonomi lokal yang berakar dari sumber daya (alam di perdesaan tersebut) tersebut. Kekuatan untuk mendorong inilah yang disebut dengan potensi, karena sebagai kekuatan ekonomi lokal mampu mengembangkan fungsi-fungsi regional sekaligus mendorong berkembangnya kegiatan produktif. Soegiono (2009) menyebutkan sektor ekonomi dapat digerakkan dari kekuatan ekonomi lokal sebagai local genius industri perdesaan, pertanian rakyat dan jasa-jasa tradisional.Kondisi inilah yang disebut sebagai berkembangnya sektor informal yang berbasis pada kekuatan komunitas-komunitas perdesaan.
Alasan mengapa local genius ini akan mendorong industri perdesaan, pertanian rakyat dan jasa-jasa tradisional perlu dicermati lebih mendalam. Kondisi inilah ya
ng kemudian dipahami sebagai peran dari kinerja potensi yang diciptakan dalam suatu permukiman perdesaan.

Ketiga, berkaitan antara permukiman perdesaan dengan pembangunan regional disebutkan bahwa pembangunan perdesaan berakar dari konsep pembangunan wilayah dan regional yang menempatkan kekuatan ekonomi (perdesaan) dalam mengembangkan sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi akan bekerja dan mendorong berkembangnya kegiatan produktif permukiman perdesaan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman dengan budaya da
n adat istiadat perdesaan.

Hingga pada akhirnya, bagaimana potensi ini dapat bekerja? Kondisi ini diamati dari 2 hal, yaitu (i) melihat potensi ini bekerja dan mendorong kegiatan produktif permukiman perdesaan, dan (ii) pengembangan kegiatan produktif yang dilakukan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman perdesaan dengan budaya dan adat istiadat perdesaan.
Aspek Potensi dalam Konsep Growth Pole
Pendapat Perroux dalam konsep ‘growth pole’ adalah fakta dasar dari perkembangan spasial, seperti halnya perkembangan industri, menunjukkan bahwa “pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan i
tu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang koridor yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap pertumbuhan keseluruhan perekonomian”

Glasson – Sitohang (1977 : 155) menunjukkan bahwa konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik yang berkaitan dengan teori growth pole didefinisikan sebagai berikut :
  1. Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya.
  2. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.
  3. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.
Dengan demikian, jika konsep ini dikaitkan dengan adanya kinerja elemen permukiman perdesaan maka:
  1. Potensi alam (nature) dikembangkan sebagai sebagai sumberdaya sehingga mampu menumbuhkan dorongan pertumbuhan ekonomi lokal.
  2. Pertumbuhan yang berakar dari kekuatan ekonomi lokal mendorong berkembangnya kegiatan produktif melalui polarisasi kinerja eleman-elemen permukiman .
  3. Pertumbuhan kegiatan ekonomi produktif ini sebagai bentuk local genius industri perdesaan.
  4. Industri perdesaan inilah yang akan mendorong peningkatan pengembangan sumberdaya alam rakyat (pertanian, perikanan, perkebunan, termasuk wisata) dan jasa-jasa tradisional yang berbasis pada kekuatan komunitas-komunitas perdesaan.
Arahan keempat hal di atas menuju bahwa suatu (kawasan) permukiman perdesaan potensial pada hakekatnya adalah KAWASAN STRATEGIS PERDESAAN. Posisi strategis ini bertolak dari adanya pertumbuhan ekonomi lokal (kawasan) yang bersumber pada sumber daya alam (sebagai potensi dasar). Nilai strategis ditunjukkan pula dari (i) berkembangnya kegiatan produktif, (ii) berkembangnya lokal jenius industri perdesaan, (iii) terciptanya jaringan jasa-jasa tradisonal yang (iv) berbasis pada kekuatan komunitas perdesaan.
Aspek Produksi Perdesaan Potensial - Industrialisasi & Tradisional
A.) Perbandingan dengan Konsep Agropolitan
Departemen Pertanian (2002) mendefinisikan agropolitan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Lebih lanju
t, agropolitan ini merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan embangunan pertanian (Agribisnis) diwilayah sekitarnya.
B.) Implementasi dalam Model Pembangunan Dua Sektor
Perbandingan dengan kawasan agropolitan ini dapat memberikan gambaran aplikasi konsep pengembangan permukiman perdesaan potensial. Namun
, Ken Martina (2004) menyebutkan konsep agropolitan ini pada suatu wilayah dan sampai batas tertentu dapat memberikan keuntungan, dikarenakan adanya konsentrasi (aglomerasi) kegiatan ekonomi di satu pusat (pole) yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta keuntungan ekonomis dari wilayah secara keseluruhan.

Ken Martina (2004) menyebutkan, kondisi ini akan berubah jika harapan trickle down efect tidak dapat terwujud sehingga akan terjadi sebaliknya, yaitu backwash effect (dalam hal pengurasan sumberdaya alam). Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang besar antara pusat (pole) dan hinterlandnya. Akibatnya, penduduk di daerah hinterland
yang membutuhkan sumber penghidupan untuk kelangsungan hidupnya akan menuju wilayah yang dianggap dapat memenuhinya, yaitu di pusat (pole), sehingga pusat menjadi semakin besar.

Pemikiran tersebut menjadi pertimbangan implementasi konsep ‘growth pole’ melalui pendekatan model pembangunan dua sektor . Model ini meletakkan sektor produktifitas sebagai bentuk dasar dari industri perdesaan (ke arah modern) dengan sektor pengelolaan sumberdaya alam (pertanian dan sebagainya) dalam kerangka kehidupan perdesaan.

Aplikasi prinsip dari model ini adalah menititkberatkan mekanisme transformasi struktur ekonomi yang semula lebih bersifat subsistem dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa indust
rialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian modern.
Dalam kaitannya dengan permukiman perdesaan, Soegiono (2009) menempatkan kekuatan ruang sosiologis permukiman perdesaan dengan budaya dan adat istiadat perdesaan menjadi kontrol bagi aplikasi konsep ‘growth pole’. Kekuatan pengendalian ini akan menjadi MANAJEMEN/ KEPRANATAAN kawasan perdesaan potensial yang bekerja dalam kerangka kehidupan perdesaan.
Aspek Penyediaan & Peran Infrastruktur
Peran infrastruktur dapat dicermati dalam 3 (tiga) hal yaitu melalui perundangan, kaitan dengan pengembangan/pembangunan regional dan kinerja elemen permukiman.
  1. Perundangan menempatkan secara normatif bahwa potensi dikembangkan melalui fungsi kawasan dalam dimensi tertentu baik sebagai tempat bermukim, pelayanan jasa, pemerintah dan sosial dan kegiatan ekonomi.
  2. Dalam kaitan dengan pembangunan regional disebutkan bahwa pembangunan perdesaan berakar dari konsep pembangunan wilayah dan regional yang menempatkan kekuatan ekonomi (perdesaan) dalam mengembangkan sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi akan bekerja dan mendorong berkembangnya kegiatan produktif permukiman perdesaan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman dengan budaya dan adat istiadat perdesaan.
  3. Penekanan teoritis yang oleh Dharoko (2009) yang menyatakan permukiman memiliki lingkup yang lebih luas dengan menilik fungsi dari kinerja elemen-elemen yang membentuknya atau dengan kata lain kinerja permukiman sebagai fungsi hunian (shelter), juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, pelayanan umum serta tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja.
Bertolak dari ketiganya, nampak jelas bahwa peran infrastruktur lebih menilik kepada peran sebagai fungsi dari suatu tematik potensi yang ada pada permukiman perdesaan. Infrstruktur akan berperan mendorong pengembangan tematik potensi agar mampu (i) menciptakan kegiatan produktif permukiman perdesaan (ii) mendorong fungsi kinerja elemen-elemen permukiman yang dapat mengakomodasi industri lokal perdesaan, pengembangan sumberdaya alam dan jasa-jasa tradisional. Dalam hal ini infrstruktur akan berperan sebagai pembentuk jaringan dari kinerja elemen pembentuk pemukiman.

KONSEP PENGEMBANGAN
Konsep Pengembangan Unggulan & Strategis
Bertolak dari pemahaman potensial adalah unggulan strategis, maka konsep dasar pengembangan adalah pengembangan pedesaan yang dipercepat (Accelerate Rural Development), Hal ini juga sejalan dengan strategi agropolitan yang sama-sama mencoba
untuk menjawab tuntutan pemerataan perkembangan baik secara teritorial maupun secara sektoral.

Perbedaannya, pada agropolitan diperkenalkan unsur-unsur perkotaan (urbanism) dalam lingkungan pedesaan yang disesuaikan dengan lingkungan yang bersangkutan. Hasil yang diharapkan diantaranya untuk menekan laju urbanisasi penduduk dari desa ke kota dan memperkecil atau sebisa mungkin menghilangkan pertentangan/kesenjangan antara desa-kota. Aspek fisik, langkah utama yang ditempuh dari strategi ini adalah dengan membangun suatu agropolis atau suatu kota ditengah kawasan basis pengembangan pertanian, yang merupakan bentuk campuran desa-kota. Agropolis merupakan pusat dari sebuah kawasan agropolitan (Agropo
litan Distric).

Membangun agropolis dan agropolitan distrik, dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Penyesuaian dengan batas-batas lingkungan hidup/ekologis.
  2. Pengembangan sektor ekonomi pertanian sebagai tulang punggung perkembangan ekonomi kawasan agropolitan.
  3. Menyerahkan wewewang kepada masyarakat dan pemerintah lokal untuk pembangunan (Decentralized Development), sekaligus mengontrol hubungan eksternal mereka.
  4. Menyesuaikan diri dengan kondisi khas daerah setempat.
Tindak lanjut dari langkah awal tersebut, agropolitan strategy mencoba untuk memperluas jaringan interaksi sosial hingga ke luar agropolitan, sehingga terbentuk ruang sosio-ekonomi yang lebih luas, kemudian menghubungkan kawasan agropolitan ke dalam jaringan regional dengan membangun dan meningkatkan prasarana fisik perkembangan menuju kota-kota besar. Agropolitan juga mengandung gagasan untuk menstabilkan pendapatan antara kawasan perkotaan dengan pedesaan, diversifikasi peluang kerja produktif, modernisasi kegiatan pertanian, mengaitkan kegiatan pertanian dengan non pertanian, mengarahkan pembangunan yang berbasis sumber daya alam untuk menyerap tenaga kerja dan penyediaan sumber dana untuk pembangunan agropolitan.

Sedangkan kawasan permukiman perdesaan unggulan strategis menempatkan pemahaman potensi sebagai unggulan lebih kepada muatan yang diunggulakan atau komoditi yang dimiliki oleh kawasan berpotensi tersebut. Komoditi unggulan ini menjadi tematik dari potensi yang diunggulkan dalam ukuran tertentu seperti produk unggulan untuk pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan dan bahkan potensi berupa social budaya seperti pariwisata, adat
istiadat dan sebagainya. Intinya komoditi yang dipandang sebagai unggulan tersebut merupakan tema bagi kawasan potensial tersebut dengan delineasi sesuai dengan keberadaan komoditas unggulan itu.

Sedangkan pemahaman potensi sebagai nilai strategis lebih melihat kepada tingkat orientasi regional dari keberadaan suatu delineasi pembentuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan potensial. Orientasi ini memiliki nilai fungsi tertentu sehingga kawasan tersebut memiliki nilai strategis tersendiri. Nilai strategis ini dapat pula dibentuk oleh adanya jaringan fungsi tematik dalam suatu (skala) konstelasi tertentu.

Dengan demikian kawasan permukiman perdesaan unggulan strategis ke depannya menempatkan pengembangan kawasan perdesaan potensial sebagai (i) pembangunan ekonomi berbasis potensi yang diunggulkan, Potensi yang diunggulkan tersebut dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi sehinga mendorong (ii) berkembangnya sistem dan budidaya yang strategis. Pengembangnya tentu saja harus (iii) digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam proses keberlanjutannya.
Konsep Penyediaan Infrastruktur
Pendekatan teoritis sistem produksi farming pada agropolitan adalah: “an approach on agricultural production and development that (1) views the whole farm as a sistem, and (2) focuses on the interdependencies among the componen interact with the physical, biological and sosio-economic factors not under the households controll”.

Pendekatan tersebut sebenarnya sejalan dengan konsep penyediaan infrastruktur bagi permukiman perdesaan potensial. Konsep tersebut secara keseluruhanny
a menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur permukiman perdesaan unggulan strategis adalah pada sistem infrastruktur itu sendiri. Perpaduan atau sinergi sistem ini adalah antara system social pada pemukiman dan system budidaya pada sumber potensi yang diunggulkan tersebut. Sinergi inilah yang mendorong dibutuhkannya infrastruktur agar proses sinergi tersebut terus berlanjut. Pilihan penyediaan infrastruktur ini akan menjadi sangat khusus sehingga kawasan ini akan memiliki nilai strategis yang kuat sebagai permukiman perdesaan potensial.

Konsep penyediaan infrastruktur secara mendasar adalah menempatkan pembangunan kawasan yang terintegrasi bertumpu pada infrastruktur atau integrated ar
ea development based on infrastructure. Konsep terintegrasi ini menjadi produk perencanaan area dengan orientasi kawasan yang mencakup strategic area development; masterplan pembangunan dan small scale community development.

Penyediaan infrastruktur itu sendiri sangat berkaitan dengan penanganan kelembagaan yang dikembangkan melalui pembinaan kemitraan atau partnership dan pengembangan program-program untuk memperkuat proses pembangunan termasuk dari sisi pendanaan. Kondisi ini diharapkan, dengan adanya infrastruktur dapat mendorong terjadinya tricle
down effect bagi permukiman perdesaan dan monetary transfer sehingga terjadi incremental financing dan meningkatnya nilai asset/property (value) bagi masyarakat.

Konsep ini diilustrasikan dalam gambar berikut yang pendekatan dan aplikasinya sebagai sebuah sistem pengembangan.

Gambar Keterkaitan pengembangan sistem sosial pada pengembangan permukiman dan sistem sumberdaya pada potensi pengembangan


No comments: