Wednesday, November 11, 2009

Draft Rapermen

Naskah Akademis

Konsep Pengembangan

PENGERTIAN
Pengertian tentang “penyediaan infrastruktur pada permukiman perdesaan potensial” ini berangkat dari pemahaman dasar yang diawali dengan; Apakah yang disebut dengan permukiman perdesaan potensial? Selanjutnya kata kunci ‘potensial’ ini akan memposisikan konsep dasar potensi yang dikembangkan dalam suatu permukiman perdesaan. Akhirnya bertolak dari platform kinerja permukiman akan didapatkan sejauhmana kebutuhan infrastruktur yang perlu disediakan dalam suatu permukiman perdesaan potensial?
Kawasan Permukiman Perdesaan
Permukiman perdesaan yang diangkat dari Undang-undang no 4 tahun 1992 menyebutkan bahwa permukiman (perdesaan) merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung dan berfungsi sebagai lingkungan hunian atau tempat tinggal dan penghidupannya. Penekanan diberikan pada kata ‘berfungsi’. Doxiadis (1965) juga memandang kata fungsi sebagai penekanan dengan menempatkan permukiman dalam 2 (dua) elemen yaitu (i) content (man, alone and in societies) dan (ii) container (physical settlement). Lebih dalam lagi elemen tersebut berupa alam (nature), perlindungan/hunian (shell) jaringan (network), manusia (man) dan masyarakatnya (society). Keduanya, konten dan container tersebut membentuk suatu korelasi fungsi dari keberadaan suatu permukiman.
Dimensi Perdesaan Potensial
Echols dan Shadily, dalam kamusnya mengartikan potensi sebagai sebuah daya, dan potensial adalah kemampuan atau kekuatan. Bagaimana hal ini berkait denga
n permukiman perdesaan di atas?

Pertama, berangkat dari UU No. 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa kawasan perdesaan mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Perundangan ini menempatkan secara normatif bahwa potensi dikembangkan melalui fungsi kawasan dalam dimensi tertentu baik sebagai tempat bermukim, pelayanan jasa, pemerintah dan sosial dan kegiatan ekonomi. Namun pertanyaannya, adalah apakah hal tersebut telah mewakili pemahaman permukiman perdesaan potensial?

Kedua, bertolak dari kata ‘fungsi’ pada pembahasan perm
ukiman perdesaan dan kemudian dikaitkan dengan pemahaman empiris bahwa permukiman perdesaan lebih dipandang dengan adanya peran kuat dari elemen alam (nature). Fungsi alam dalam kinerja elemen permukiman perdesaan menunjukkan pengembangan alam sebagai sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa dorongan pertumbuhan ekonomi lokal yang berakar dari sumber daya (alam di perdesaan tersebut) tersebut. Kekuatan untuk mendorong inilah yang disebut dengan potensi, karena sebagai kekuatan ekonomi lokal mampu mengembangkan fungsi-fungsi regional sekaligus mendorong berkembangnya kegiatan produktif. Soegiono (2009) menyebutkan sektor ekonomi dapat digerakkan dari kekuatan ekonomi lokal sebagai local genius industri perdesaan, pertanian rakyat dan jasa-jasa tradisional.Kondisi inilah yang disebut sebagai berkembangnya sektor informal yang berbasis pada kekuatan komunitas-komunitas perdesaan.
Alasan mengapa local genius ini akan mendorong industri perdesaan, pertanian rakyat dan jasa-jasa tradisional perlu dicermati lebih mendalam. Kondisi inilah ya
ng kemudian dipahami sebagai peran dari kinerja potensi yang diciptakan dalam suatu permukiman perdesaan.

Ketiga, berkaitan antara permukiman perdesaan dengan pembangunan regional disebutkan bahwa pembangunan perdesaan berakar dari konsep pembangunan wilayah dan regional yang menempatkan kekuatan ekonomi (perdesaan) dalam mengembangkan sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi akan bekerja dan mendorong berkembangnya kegiatan produktif permukiman perdesaan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman dengan budaya da
n adat istiadat perdesaan.

Hingga pada akhirnya, bagaimana potensi ini dapat bekerja? Kondisi ini diamati dari 2 hal, yaitu (i) melihat potensi ini bekerja dan mendorong kegiatan produktif permukiman perdesaan, dan (ii) pengembangan kegiatan produktif yang dilakukan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman perdesaan dengan budaya dan adat istiadat perdesaan.
Aspek Potensi dalam Konsep Growth Pole
Pendapat Perroux dalam konsep ‘growth pole’ adalah fakta dasar dari perkembangan spasial, seperti halnya perkembangan industri, menunjukkan bahwa “pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan i
tu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang koridor yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap pertumbuhan keseluruhan perekonomian”

Glasson – Sitohang (1977 : 155) menunjukkan bahwa konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik yang berkaitan dengan teori growth pole didefinisikan sebagai berikut :
  1. Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya.
  2. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.
  3. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada waktunya, kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.
Dengan demikian, jika konsep ini dikaitkan dengan adanya kinerja elemen permukiman perdesaan maka:
  1. Potensi alam (nature) dikembangkan sebagai sebagai sumberdaya sehingga mampu menumbuhkan dorongan pertumbuhan ekonomi lokal.
  2. Pertumbuhan yang berakar dari kekuatan ekonomi lokal mendorong berkembangnya kegiatan produktif melalui polarisasi kinerja eleman-elemen permukiman .
  3. Pertumbuhan kegiatan ekonomi produktif ini sebagai bentuk local genius industri perdesaan.
  4. Industri perdesaan inilah yang akan mendorong peningkatan pengembangan sumberdaya alam rakyat (pertanian, perikanan, perkebunan, termasuk wisata) dan jasa-jasa tradisional yang berbasis pada kekuatan komunitas-komunitas perdesaan.
Arahan keempat hal di atas menuju bahwa suatu (kawasan) permukiman perdesaan potensial pada hakekatnya adalah KAWASAN STRATEGIS PERDESAAN. Posisi strategis ini bertolak dari adanya pertumbuhan ekonomi lokal (kawasan) yang bersumber pada sumber daya alam (sebagai potensi dasar). Nilai strategis ditunjukkan pula dari (i) berkembangnya kegiatan produktif, (ii) berkembangnya lokal jenius industri perdesaan, (iii) terciptanya jaringan jasa-jasa tradisonal yang (iv) berbasis pada kekuatan komunitas perdesaan.
Aspek Produksi Perdesaan Potensial - Industrialisasi & Tradisional
A.) Perbandingan dengan Konsep Agropolitan
Departemen Pertanian (2002) mendefinisikan agropolitan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Lebih lanju
t, agropolitan ini merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan embangunan pertanian (Agribisnis) diwilayah sekitarnya.
B.) Implementasi dalam Model Pembangunan Dua Sektor
Perbandingan dengan kawasan agropolitan ini dapat memberikan gambaran aplikasi konsep pengembangan permukiman perdesaan potensial. Namun
, Ken Martina (2004) menyebutkan konsep agropolitan ini pada suatu wilayah dan sampai batas tertentu dapat memberikan keuntungan, dikarenakan adanya konsentrasi (aglomerasi) kegiatan ekonomi di satu pusat (pole) yang meningkatkan efisiensi dan efektifitas, serta keuntungan ekonomis dari wilayah secara keseluruhan.

Ken Martina (2004) menyebutkan, kondisi ini akan berubah jika harapan trickle down efect tidak dapat terwujud sehingga akan terjadi sebaliknya, yaitu backwash effect (dalam hal pengurasan sumberdaya alam). Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang besar antara pusat (pole) dan hinterlandnya. Akibatnya, penduduk di daerah hinterland
yang membutuhkan sumber penghidupan untuk kelangsungan hidupnya akan menuju wilayah yang dianggap dapat memenuhinya, yaitu di pusat (pole), sehingga pusat menjadi semakin besar.

Pemikiran tersebut menjadi pertimbangan implementasi konsep ‘growth pole’ melalui pendekatan model pembangunan dua sektor . Model ini meletakkan sektor produktifitas sebagai bentuk dasar dari industri perdesaan (ke arah modern) dengan sektor pengelolaan sumberdaya alam (pertanian dan sebagainya) dalam kerangka kehidupan perdesaan.

Aplikasi prinsip dari model ini adalah menititkberatkan mekanisme transformasi struktur ekonomi yang semula lebih bersifat subsistem dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa indust
rialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian modern.
Dalam kaitannya dengan permukiman perdesaan, Soegiono (2009) menempatkan kekuatan ruang sosiologis permukiman perdesaan dengan budaya dan adat istiadat perdesaan menjadi kontrol bagi aplikasi konsep ‘growth pole’. Kekuatan pengendalian ini akan menjadi MANAJEMEN/ KEPRANATAAN kawasan perdesaan potensial yang bekerja dalam kerangka kehidupan perdesaan.
Aspek Penyediaan & Peran Infrastruktur
Peran infrastruktur dapat dicermati dalam 3 (tiga) hal yaitu melalui perundangan, kaitan dengan pengembangan/pembangunan regional dan kinerja elemen permukiman.
  1. Perundangan menempatkan secara normatif bahwa potensi dikembangkan melalui fungsi kawasan dalam dimensi tertentu baik sebagai tempat bermukim, pelayanan jasa, pemerintah dan sosial dan kegiatan ekonomi.
  2. Dalam kaitan dengan pembangunan regional disebutkan bahwa pembangunan perdesaan berakar dari konsep pembangunan wilayah dan regional yang menempatkan kekuatan ekonomi (perdesaan) dalam mengembangkan sumberdaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi akan bekerja dan mendorong berkembangnya kegiatan produktif permukiman perdesaan melalui kekuatan ruang sosiologis permukiman dengan budaya dan adat istiadat perdesaan.
  3. Penekanan teoritis yang oleh Dharoko (2009) yang menyatakan permukiman memiliki lingkup yang lebih luas dengan menilik fungsi dari kinerja elemen-elemen yang membentuknya atau dengan kata lain kinerja permukiman sebagai fungsi hunian (shelter), juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, pelayanan umum serta tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja.
Bertolak dari ketiganya, nampak jelas bahwa peran infrastruktur lebih menilik kepada peran sebagai fungsi dari suatu tematik potensi yang ada pada permukiman perdesaan. Infrstruktur akan berperan mendorong pengembangan tematik potensi agar mampu (i) menciptakan kegiatan produktif permukiman perdesaan (ii) mendorong fungsi kinerja elemen-elemen permukiman yang dapat mengakomodasi industri lokal perdesaan, pengembangan sumberdaya alam dan jasa-jasa tradisional. Dalam hal ini infrstruktur akan berperan sebagai pembentuk jaringan dari kinerja elemen pembentuk pemukiman.

KONSEP PENGEMBANGAN
Konsep Pengembangan Unggulan & Strategis
Bertolak dari pemahaman potensial adalah unggulan strategis, maka konsep dasar pengembangan adalah pengembangan pedesaan yang dipercepat (Accelerate Rural Development), Hal ini juga sejalan dengan strategi agropolitan yang sama-sama mencoba
untuk menjawab tuntutan pemerataan perkembangan baik secara teritorial maupun secara sektoral.

Perbedaannya, pada agropolitan diperkenalkan unsur-unsur perkotaan (urbanism) dalam lingkungan pedesaan yang disesuaikan dengan lingkungan yang bersangkutan. Hasil yang diharapkan diantaranya untuk menekan laju urbanisasi penduduk dari desa ke kota dan memperkecil atau sebisa mungkin menghilangkan pertentangan/kesenjangan antara desa-kota. Aspek fisik, langkah utama yang ditempuh dari strategi ini adalah dengan membangun suatu agropolis atau suatu kota ditengah kawasan basis pengembangan pertanian, yang merupakan bentuk campuran desa-kota. Agropolis merupakan pusat dari sebuah kawasan agropolitan (Agropo
litan Distric).

Membangun agropolis dan agropolitan distrik, dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Penyesuaian dengan batas-batas lingkungan hidup/ekologis.
  2. Pengembangan sektor ekonomi pertanian sebagai tulang punggung perkembangan ekonomi kawasan agropolitan.
  3. Menyerahkan wewewang kepada masyarakat dan pemerintah lokal untuk pembangunan (Decentralized Development), sekaligus mengontrol hubungan eksternal mereka.
  4. Menyesuaikan diri dengan kondisi khas daerah setempat.
Tindak lanjut dari langkah awal tersebut, agropolitan strategy mencoba untuk memperluas jaringan interaksi sosial hingga ke luar agropolitan, sehingga terbentuk ruang sosio-ekonomi yang lebih luas, kemudian menghubungkan kawasan agropolitan ke dalam jaringan regional dengan membangun dan meningkatkan prasarana fisik perkembangan menuju kota-kota besar. Agropolitan juga mengandung gagasan untuk menstabilkan pendapatan antara kawasan perkotaan dengan pedesaan, diversifikasi peluang kerja produktif, modernisasi kegiatan pertanian, mengaitkan kegiatan pertanian dengan non pertanian, mengarahkan pembangunan yang berbasis sumber daya alam untuk menyerap tenaga kerja dan penyediaan sumber dana untuk pembangunan agropolitan.

Sedangkan kawasan permukiman perdesaan unggulan strategis menempatkan pemahaman potensi sebagai unggulan lebih kepada muatan yang diunggulakan atau komoditi yang dimiliki oleh kawasan berpotensi tersebut. Komoditi unggulan ini menjadi tematik dari potensi yang diunggulkan dalam ukuran tertentu seperti produk unggulan untuk pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan dan bahkan potensi berupa social budaya seperti pariwisata, adat
istiadat dan sebagainya. Intinya komoditi yang dipandang sebagai unggulan tersebut merupakan tema bagi kawasan potensial tersebut dengan delineasi sesuai dengan keberadaan komoditas unggulan itu.

Sedangkan pemahaman potensi sebagai nilai strategis lebih melihat kepada tingkat orientasi regional dari keberadaan suatu delineasi pembentuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan potensial. Orientasi ini memiliki nilai fungsi tertentu sehingga kawasan tersebut memiliki nilai strategis tersendiri. Nilai strategis ini dapat pula dibentuk oleh adanya jaringan fungsi tematik dalam suatu (skala) konstelasi tertentu.

Dengan demikian kawasan permukiman perdesaan unggulan strategis ke depannya menempatkan pengembangan kawasan perdesaan potensial sebagai (i) pembangunan ekonomi berbasis potensi yang diunggulkan, Potensi yang diunggulkan tersebut dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi sehinga mendorong (ii) berkembangnya sistem dan budidaya yang strategis. Pengembangnya tentu saja harus (iii) digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam proses keberlanjutannya.
Konsep Penyediaan Infrastruktur
Pendekatan teoritis sistem produksi farming pada agropolitan adalah: “an approach on agricultural production and development that (1) views the whole farm as a sistem, and (2) focuses on the interdependencies among the componen interact with the physical, biological and sosio-economic factors not under the households controll”.

Pendekatan tersebut sebenarnya sejalan dengan konsep penyediaan infrastruktur bagi permukiman perdesaan potensial. Konsep tersebut secara keseluruhanny
a menunjukkan bahwa penyediaan infrastruktur permukiman perdesaan unggulan strategis adalah pada sistem infrastruktur itu sendiri. Perpaduan atau sinergi sistem ini adalah antara system social pada pemukiman dan system budidaya pada sumber potensi yang diunggulkan tersebut. Sinergi inilah yang mendorong dibutuhkannya infrastruktur agar proses sinergi tersebut terus berlanjut. Pilihan penyediaan infrastruktur ini akan menjadi sangat khusus sehingga kawasan ini akan memiliki nilai strategis yang kuat sebagai permukiman perdesaan potensial.

Konsep penyediaan infrastruktur secara mendasar adalah menempatkan pembangunan kawasan yang terintegrasi bertumpu pada infrastruktur atau integrated ar
ea development based on infrastructure. Konsep terintegrasi ini menjadi produk perencanaan area dengan orientasi kawasan yang mencakup strategic area development; masterplan pembangunan dan small scale community development.

Penyediaan infrastruktur itu sendiri sangat berkaitan dengan penanganan kelembagaan yang dikembangkan melalui pembinaan kemitraan atau partnership dan pengembangan program-program untuk memperkuat proses pembangunan termasuk dari sisi pendanaan. Kondisi ini diharapkan, dengan adanya infrastruktur dapat mendorong terjadinya tricle
down effect bagi permukiman perdesaan dan monetary transfer sehingga terjadi incremental financing dan meningkatnya nilai asset/property (value) bagi masyarakat.

Konsep ini diilustrasikan dalam gambar berikut yang pendekatan dan aplikasinya sebagai sebuah sistem pengembangan.

Gambar Keterkaitan pengembangan sistem sosial pada pengembangan permukiman dan sistem sumberdaya pada potensi pengembangan


Dasar Rapermen

Dasar penyusunan pedoman “penyediaan sarana dan prasarana pada permukiman perdesaan unggulan strategis” sebagai rapermen ini lebih kepada pertimbangan aspek-aspek pokok perundangan sehingga kedudukan rapermen ini benar dari sisi hierarki perundangan dan menjadi acuan dalam implementasi pada skala lokal/kabupaten. Pertimbangan ini mencakup 2 (dua) hal yaitu pertaman, Rapermen sebagai dasar hukum; yaitu dikarenakan belum adanya aspek legal formal yang dapat dipergunakan sebagai pedoman penyediaan sarana dan prasarana permukiman perdesaan unggulan strategis. Sementara ini hanya dapat mengacu kepada UU no 4 tahun 1992 dan UU no 26 tahun 2007, selanjutnya belum ada peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan untuk menyusun Rapermen penyediaan sarana dan prasarana pada permukiman perdesaan unggulan strategis.

Kedua, adanya kebutuhan alternatif landasan dalam penyusunan Rapermen; yaitu (i) Rapermen ini diharapkan merupakan tindak lanjut dari UU no 26 tahun 2007 (ii) mempergunakan Peraturan Pemerintah no 38 tahun 2007 sebagai dasar hukum untuk menerbitkan rapermen atau pada posisi (iii) kemendesakan disusunnya rapermen.

DASAR HUKUM
Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar hukum penyusunan peraturan Menteri, hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, yang memerintahkan pembuatan peraturan Menteri tersebut, atau peraturan Menteri lainnya. Peraturan perundang-undangan yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum penyusunan Rancangan Peraturan Menteri tentang Penyediaan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perdesaan Potensial, adalah sebagai berikut:

  • UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN,
  • UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
  • UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG,
  • PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA
PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM.
Dalam Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/SE/M/2005 tanggal 29 Desember 2005 perihal Tata Cara Mempersiapkan Naskah Produk Hukum di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, antara lain menetapkan:
Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Program Legislasi Nasional, dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, perlu menetapkan Tata Cara Mempersiapkan Naskah Produk Hukum di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dengan Surat Edaran Menteri, antara lain menetapkan sebagai berikut:

Jenis & Materi Muatan
1). Jenis produk hukum Menteri terdiri dari:
  • Peraturan;
  • Keputusan;
  • Instruksi;
  • Surat Perintah;
  • Surat Edaran.
2). Produk hukum ditetapkan dan ditandatangani oleh Menteri. Produk hukum dapat ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Badan dan Inspektur Jenderal atas nama Menteri sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya.

3). Peraturan Menteri merupakan kebijakan umum dan pengaturan kebijakan pokok yang bersifat umum dan mengikat yang harus dilaksanakan unit kerja di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.
Peraturan Menteri memuat:
  • Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
  • Perubahan, penambahan, dan pencabutan dari suatu Peraturan Menteri.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat memuat norma yang berupa:
  • Pedoman;
  • Standar;
  • Petunjuk Pelaksanaan;
  • Petunjuk Teknis.
Tata cara Penyusunan Produk Hukum
1). Unit Eselon II dapat mengajukan prakarsa produk hukum sesuai dengan kewenangan bidang tugasnya masing-masing, yang dalam pelaksanaannya terlebih dahulu dibicarakan untuk dibahas di tingkat Eselon I dengan suatu kerangka materi yang diusulkan akan diatur.

2). Penyiapan dan penyusunan rancangan peraturan produk hukum dapat dilakukan dengan suatu Tim pada tingkat Eselon I.

3). Teknik penyusunan dan penulisan produk hukum mengacu pada ketentuan Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pebentukkan Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, mutatis mutandis berlaku terhadap jenis produk hukum di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum.

4). Kerangka produk hukum yang berjenis Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri serta Keputusan Pejabat Eselon I, terdiri atas:
  • Judul;
  • Pembukaan;
  • Batang Tubuh;
  • Penutup;
  • Lampiran (jika diperlukan)
5). Peraturan Menteri disusun dan dirumuskan dalam bentuk pasal-pasal.

6). Prosedur penyusunan produk hukum dilaksanakan sesuai dengan bagan alir-nya

Analisa Lapangan

Prinsip-prinsip Penyediaan Prasarana & Sarana Permukiman Perdesaan Potensial (Unggulan Strategis)

Bertolak dari hasil analisis secara kritis (lebih kepada pendekatan kualitatif) dari implementasi kegiatan pengembangan perdesaan pada kawasan-kawasan agropolitan sebagai pengembangan potensi ekonomi lokal, maka karakter dan atribut yang dihasilkan menjadi prinsip-prinsip perencanaan atau acuan dasar penyediaan kebutuhan infrastruktur pada suatu permukiman perdesaan potensial. Karakter dan atribut perencanaan ini adalah melihat terbentuk tidaknya perpaduan pengaruh timbal balik antara permukiman perdesaan sebagai social system dan lingkungan budidaya potensi sebagai resources system.

Mengapa demikian? Perpaduan timbal balik ini menempatkan atau mengindikasikan adanya kebutuhan akan korelasi antar kedua system di atas. Korelasi ini menempatkan suatu permukiman perdesaan sebagai bentuk sistem sosial (kekerabatan, adat istiadat, norma dalam komunitas permukiman) dan lingkungan budidaya potensi berupa sistem sumberdaya yang dikelola oleh pemukim pada permukiman perdesaan tersebut .

Aplikasi dari adanya kebutuhan korelasi ini diwujudkan secara fisik berupa penyediaan infrastruktur . Infrastruktur ini selain berperan sebagai korelasi antar peruntukan ruang juga menunjukkan perannya sebagai services bagi permukiman. Namun dalam kapasitasnya sebagai fungsi infrastruktur, maka penyediaan infrastruktur ini tidak hanya sebagai services semata, melainkan juga sebagai pengendali dan pengarah dari pertumbuhan dan perkmbangan suatu kawasan potensial.


Hal tersebut di atas sejalan dengan platform yang menempatkan (i) resources system sebagai muatan pengembangan regional dan perdesaan. Resources system ini membentuk korelasi timbal balik dengan (ii) social system sebagai muatan dari pengembnangan permukiman perdesaan. Antara kedua sistem inilah korelasi terbentuk yang diaplikasikan sebagai kebutuhan infrastruktur yang juga muatan dari rencana pengembanngan infrastruktur. Hubungan kertiganya menempatkan infrastruktur sebagai whole function dalam memenuhi kebutuhan sistem-sistem tersebut.

Hubungan yang diulas di atas digambarkan sebagai berikut:
Gambar Korelasi Antar Sistem Dalam Penyediaan Infrastruktur sejalan dengan Platform

Keterkaitan antar sistem tersebut diatas pada hakekatnya adalah pengembangan budi daya, khususnya sumber daya alam. Kenyataannya sumberdaya ini memiliki ambang batas yang berdampak kepada degradasi atau penurunan kualitas lingkungan dari sumberdaya tersebut. Ambang batas digambarkan secara empiris berupa korelasi atau hubungan timbal balik antara kedua sistem (sosial dan resources) melalui keterklaitan 4 (empat) aspek, yaitu:
1) Sumber daya alam (resources)
2) Pengguna sumber daya (resources users)
3) Infrstruktur Publik (public infrastructure)
4) Penyedia Infrastruktur (infrastructure providers)

Penjelasannya, sumberdaya alam (resources) apapun jenis dan katagorinya ,memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan oleh penggunanya (users oleh komunitas atau masyarakat). Untuk menunjang aktifitas pengelolaan sumberdaya maka perlu disediakan (oleh pr
oviders) infrastruktur (public infrastructure). Penyediaan ini tensaja memperhatikan keseimbangan ekosistem sumberdaya yang perlu dikendalikan dan diatur pengelolaannya. Penjelasan tersebut seperi digambarkan sebagai berikut:

Gambar Korealasi 4 Aspek dalam Hubungan Timbal Balik antara Sistem Sosial dan Sistem Sumberdaya

Penggambaran di atas dalam implikasinya berkaitan erat dengan karakter dan atribut sebagai prinsip-prinsip penyediaan kebutuhan infrastruktur pada suatu permukiman perdesaan potensial. Prinsip-prinsip ini mencakup suatu kondisi yang terbentuk melalui:
  1. Aktifitas pengguna sumber daya menjadi dasar penyediaan infrastruktur (model penyediaan atau provider)
  2. Perencanaan yang dilakukan memperhatikan dampak negatif akibat adanya penyelenggaraan pembangunan infrastruktur.
  3. Pemanfaanfaatan infrastruktur merupakan fungsi kontrol dalam pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan.
  4. Pengelolaan infrastruktur semata-mata untuk menunjang usaha budidaya (industri lokal) dan kehidupan pengolah sumber daya (permukiman).

Implementasi prinsip-prinsip di atas pada analisis kebutuhan infrastruktur adalah menempatkan 2 (dua) penilaian mendasar yaitu (i) penilaian kebutuhan dan (ii) penilaian integrasi system. Penilaian kebutuhan adalah melakukan analisis kebutuhan layanan dasar infrastruktur akan adanya suatu aktifitas pemukiman sedangkan penilaian integrasi sistem lebih mengarah kepada kebutuhan infrastruktur yang diakibatkan oleh adanya integrasi antara sistem sosial dan sistem budidaya/sumberya.
Berangkat dari penilaian tersebut di atas maka diperlukan strategi implementasi dengan menempatkan penyediaan kebutuhan infrastruktur sebagai:
  1. Elemen sarana dan prasarana yang menunjang (service) kegiatan ekonomi lokal (bisnis).
  2. Peran penting dalam membuka akses kawasan yang berdampak kepada peluang investasi, dan pasar budidaya potensi.
  3. Kemampuan mendorong kegiatan industri (kelas menengah dan besar) lebih berkembang pada kawasan.
  4. Konsisi yang menciptakan system yang utuh dan saling terkait sebagai suatu sistem bisnis industri lokal.

Keseluruhannya menunjukkan bahwa pembentukan karakter dan atribut penyediaan infrastruktur permukiman perdesaan potensial adalah pada sistem infrastruktur itu sendiri yang merupakan perpaduan timbal balik antara sistem sosial (komunitas perdesaan) dan sistem ekologi (ekosistem budidaya potensi lokal).

Monday, November 2, 2009

Pengamatan Lapangan

Lokasi pengamatan lapangan dilakukan di 8 (delapan) kawasan permukiman Perdesaan potensial yang dapat mewakili karakteristik permukiman Perdesaan di Indonesia yaitu Kab. Simalungun, Kab. Bangka, Kab. Bogor, Kab. Karang Anyar, Kab. Minahasa Selatan dan Kab. Buleleng, Kab. Lombok Timur dan Kab. Belu.

Yang ditampilkan di halaman ini hanya gambaran umum kawasan saja. Aspek lain yang diamati seperti; kategori kawasan, proses penetapan kawasan, kebutuhan penyediaan infrastruktur, kewenangan pengelolaan infrastruktur, pola dan tata cara pengelolaan infrastrukur, pembiayaan dan investasi, dan terakhir peran-serta masyarakat, dapat dilihat di Buku Laporan Akhir pekerjaan ini.

1. AGROPOLITAN DATARAN TINGGI BUKIT BARISAN SUMATERA UTARA (DTBB-SU), KAB. SIMALUNGUN, PROV. SUMATERA UTARA
Topografi Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan bervariasi dari kondisi datar hingga curam berkisar antara 15% –60 %. Kawasan Agropolitan tersebut terletak pada daerah dataran hingga bergelombang yang pada umumnya merupakan lereng bawah gunung dan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, daerah ini merupakan kawasan resapan air. Kawasan Agropolitan ini merupakan kawasan budidaya yang peruntukannya untuk budidaya pertanian.

Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan mempunyai iklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata tercatat sebesar 2.000 mm sampai 2.100 mm, sedang curah hujan tinggi berkisar antara 2.000 sampai 4.500 mm berlangsung sepanjang tahun. Iklim tropis tersebut menjadikan kondisi alam Kawasan Agropolitan sangat subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Disamping itu lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian. Disamping itu agroklimat dataran tinggi di kawasan Agropolitan DTBB-SU cocok untuk pengembangan pertanian tanaman hortikultura.

Sumberdaya manusia yang terdapat di kawasan agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara (DTBB-SU) adalah penduduk lokal. Jumlah penduduk di Propinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 20 tahun terakhir rneningkat dengan cukup pesat meskipun angka pertumbuhan penduduk terus mengalami penurunan.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian dalam sektor pertanian yaitu sebesar 60 %, baik sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap maupun buruh tani, diikuti sektor perdagangan dan jasa yaitu 20% dan pegawai negeri sebesar 20 %.

Peta Kawasan Agropolitan DTBB-SU

2. MINAPOLITAN SALEPLIAT, KAB. BANGKA SELATAN, PROV. BANGKA BELITUNG
Kawasan Agro/Minapolitan Salepliat terletak di Wilayah Kabupaten Bangka Selatan dengan Luas ± 3.607,08 Km2 (360.708 Ha). Secara administratif Wilayah Kab. Bangka Selatan berbatasan dengan :
  • Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Bangka Tengah
  • Sebelah Selatan Berbatasan dengan Laut Jawa
  • Sebelah Timur berbatsan dengan Selat Gaspar
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Bangka
Kawasan pengembangan minapolitan nya adalah
  • Sadai
  • Pulau Lepar
  • Pulau Liat
  • Kec. Lepar Pongok
  • Kec. Tukak Sadai
Komoditas ungulan yang sangat cocok untuk dikembangkan di kawasan ini antara lain :
  • Komoditas Unggulan Kawasan Budi Daya Laut; KJA Kerapu Sunu, Tiger, dan Rumput Laut, Teripang, Kerapu Tiger, Bebak dan pembesaran ikan karang berbagai jenis hasil tangkapan Bubu serta Penyu Hijau Alami.
  • Kawasan Unggulan Masyarakat Pesisir Salepliat. Siput Gonggong, Udang Kipas, Lobster, Kepiting/Rajung, Kerang, Teripang Pasir, dan ikan tenggiri dan kakap merah
  • Kondisi Habitat Ekosistem Perairan Karang Salepliat; Ditetapkan sebagai Kawasan Konversi SALEPLIAT dan sebagai tempat pelaksanaan pelatihan Social Diving.
Peta Kawasan Minapolitan Salepliat

3. AGROPOLITAN LEUWILIANG, KAB. BOGOR, PROP. JAWA BARAT
Kawasan Agropolitan di Kabupaten Bogor berdasarkan Masterplan yang sudah dibuat, maka kawasan agropolitan salah satunya dipusatkan di Kawasan Agropolitan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
Kecamatan Leuwiliang khususnya 5 desa yang merupakan kawasan Agropolitan memiliki topografi yang relative berombak sampai bergunung dengan kemiringan lereng antara 15% sampai dengan 25%, dengan ketinggian antara 350 – 650 m dpl.

Sesuai dengan kondisi iklim di Wilayah Bogor, kawasan Agropolitan di Kabupaten Bogor didominasi oleh iklim hujan dengan curah hujan yang relatif tinggi sehingga secara tidak langsung sangat menguntungkan dalam produksi komoditas manggis sebagai komoditas unggulan.

Berdasarkan struktur Mata Pencaharian di wilayah perencanaan, menunjukan bahwa secara umum sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa. Presentase jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian antara tahun 2000-2003 sebesar 64%, sedangkan presentase jumlah penduduk yang bekerja pada sektor perdagangan sebesar 16%. Dari pola sebaran secara spasial dari mata pencaharian, lebih didominasi pada beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Cibungbulang, Leuwiliang dan Pamijahan. Penduduk di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga, mata pencaharian utamanya kebanyakan bekerja sebagai petani buah-buahan dan tanaman tahunan lainnya, sedangkan di Kecamatan Cibungbulang, Leuwiliang dan Pamijahan selain banyak petani tahunan, juga banyak ditemukan petani holtikultura dan palawija serta peternak ikan tawar.

4. AGROPOLITAN SUTHOMADANSIH, KAB. KARANG ANYAR, PROP. JAWA TENGAH
Kawasan agropolitan ini meliputi 5 kecamatan yaitu Matesih, Ngargoyoso, Tawangmangu, Jenawi dan Karangpandan. Kawasan SUTHOMADANSIH memiliki luas keseluruhan sebesar 25.183,1 Ha.

Kawasan Agropolitan SUTHOMADANSIH terletak di bagian timur laut Kabupaten Karanganyar. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian dan peternakan. Dengan kesuburan tanah yang baik dan didukung agroklimat yang sesuai, komoditas unggulan yang dihasilkan antara lain meliputi:
  • Komoditi unggulan utama : hortikultura sayuran yaitu wortel (121.930 ton/ha), kobis(11.667 ton/ha), sawi (11.540 ton/ha)
  • Komoditi unggulan pendukung, meliputi:padi (19.779 ton/ha), ubi jalar (2.891 ton/ha),pisang (9.677,1 ton/ha), alpokat (2.326,5 ton/ha), durian ( 1.095,6 ton/ha), nangka (5.203,6 ton/ha), jahe (888,75 ton/ha), cengkeh (321,70 ton/ha), kunyit (300 ton/ha) dan Peternakan ayam buras (128.980 ekor/th), sapi (7.456 ekor/th).
Komoditi utama wortel akses pemasarannya ke Kota Solo, Sragen, Sukoharjo. Komoditi sayuran ini juga sampai ke Pulau Batam, dan telah dilakukan secara rutin 10 cotainer tiap bulan.
Industri rumah tangga di SUTHOMADANSIH yang berupa home industri sudah mulai berkembang. Pengolahan tanaman obat yang berupa simplesia sudah dilakukan oleh masyarakat maupun Balai Pengolahan Tanaman Obat. Selanjutnya hasil olahan tersebut, dapat langsung dijual pada konsumen berupa produk instant atau kepada pengepul untuk dipasarkan ke pabrik jamu Air Mancur. Sedangkan untuk komoditi wortel saat ini sudah ada kontrak dengan Propinsi Batam dengan pengiriman sebesar 10 ton/bulan.
Komoditi buah yang unggul di Kawasan SUTHOMADANSIH menggunakan benih unggul dari hasil seleksi setempat (Balai Benih Tanaman Buah) yang bekerjasama dengan OISCA (suatu badan yang bergerak di bidang pertanian milik Pemerintah Jepang).
Kawasan Agropolitan SUTHOMADANSIH didukung pula oleh potensi yang dimilikinya yaitu potensi sektor pariwisata berupa wisata alam (Grojogan Sewu, Grojogan Seko) wisata budaya (Candi Sukuh dan Candi Cetho). Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi pemasaran hasil pertanian dimana konsumen mendatangi kawasan agropolitan SUTHOMADANSIH sekaligus mereka menikmati wisata yang ada disana.

Peta Kawasan Agropolitan Suthomadansih

5. AGROPOLITAN PETANG, KAB. BADUNG, BALI
Secara topografi bentangan kec. Petang secara umum letaknya cukup jauh dari pantai dimana berada pada ketinggian <> 700 meter di atas permukaan laut. Kec. Petang yang merupakan salah satu wilayah di kab. Badung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim dan terdapat musim kemarau dan hujan. Faktor ketinggian tempat menentukan besarnya curah hujan sehingga curah hunan tertinggi berada d pegunungan. Desa-desa yang ada sebagian besar dekat dengan perbukitan akan menunjukkan kontribusi curah hujan yang tinggi.

Berdasarkan mata pencaharian penduduk di kec. Petang dirinci menurut lapangan usaha dimana bertumpu pada sektor pertanian tanaman pangan sebanyak 14.125 jiwa, di bidang perternakan sebanyaj 2.372 jiwa, di bidang perkebunan sebanyak 359 jiwa, di bidang perdagangan sebanyak 806 jiwa, di bidang industri sebanyak 170 jiwa, si bidang angkutan dan komunikasi sebanyak 182 jiwa, di biadang bank/lembaga keuangan sebanu\yak 158 jiwa, di biadang pemerintahan dan jasa sebanyak 366 jiwa.

Di kec. Petang sektor pertanian menghasilkan beberapa jenis komoditas meliputi : padi sawah, jagung, kacang tanah dan ubi-ubian.
Peta Kawasan Agropolitan Petang
6. MINAPOLITAN TATAPAAN, KAB. MINAHASA SELATAN, PROP. SULAWESI UTARA
Secara administratif, Kawasan Tatapaan berada di Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Secara keseluruhan total luas wilayah kecamatan adalah 19.870 atau 198 km2. dengan total jumlah penduduk 8304 orang. Wilayah kecamatan ini yang berada di pesisir ini memiliki 3 pulau yaitu Pulau Tatapaan, Pulau Burung dan Pulau Cepatu yang tidak berpenghuni. Jumlah desa yang ada di kecamatan ini adalah 11 desa.

Secara umum, masyarakat yang ada di Kawasan Tatapaan memiliki kebiasaan yang sama dalam bekerja, yaitu memilih untuk berkebun bila kondisi laut sedang tidak bersahabat. Namun, tidak seluruh desa yang ada memiliki komoditas unggulan di bidang perikanan.

Peta salah satu desa dari kawasan minapolitan Tatapaan

7. AGROPOLITAN SIKUR, KAB. LOMBOK TIMUR, PROV. NTB

Kabupaten Lombok Timur berada disebelah timur Pulau Lombok. Berdasarkan kondisi perwilayahan, Kabupaten Lombok Timur mempunyai luas wilayah ± 160.555 Ha.

Ketinggian wilayah Kabupaten Lombok Timur bervariasi antara 0 m diatas permukaan laut pada daerah pantai sampai dengan 3.726 meter dpl. pada daerah pegunungan. Berdasarkan klasifikasi Topografi, maka untuk kelerengan antara 0 – 2% atau daerah yang datar mencakup kecamatan Jerowaru, Keruak, Labuhan Haji dan Kecamatan Pringgabaya dengan luas keseluruhan mencapai 25.760 Ha, Untuk wilayah dengan kelerengan antara 2 – 15% dan merupakan kreteria kelerengan yang dominan di Kabupaten Lombok Timur, mencakup wilayah Kecamatan Sakra, Sakra Barat, Sakra Timur, Selong, Sukamulia, Suralaga, Terara, Montong Gading dan Sikur.

Sektor yang memberikan pemasukan besar adalah pertanian dan perdagangan jasa, pada tahun 2000 berdasarkan nilai PDRB harga konstan 41,26 % . Potensi tanaman perkebunan potensial untuk jenis tanaman tembakau, pola pemasarannya melalui PT. BAT yang berfungsi sebagai penampung hasil tembakau masyarakat, dengan pola pengembangan kemitraan. PT BAT terdapat di Kecamatan Terara dan Sikur.

Peta Kawasan Agropolitan Sikur

8. AGROPOLITAN BETUN, KAB. BELU, NTT
Kawasan Agropolitan Betun terdiri dari : Kota Tani Utama yaitu kota Betun dan Pusat Satuan Kawasan Pertanian (Kawasan yang menjadi sentra produksi pertanian) meliputi : 8 Desa di wilayah adminitrasi Kecamatan Malaka Tengah yaitu : Desa Kakaniuk, Desa Bakiruk, Desa Wehali, Desa Umanen Lawalu, Desa Umakatahan, Desa Naimana, Desa Kletek, Desa Kamanasa ; 5 Desa di Kecamatan Weliman, yaitu : Desa Lamudur, Desa Wederok, Desa Laleten, Desa Haitimuk, Desa Kleseleon dan 4 Desa di Kecamatan Malaka Barat, yaitu : Desa Lasaen, Desa Maktihan, Desa Motaulun dan Desa Besikama.

Topografi Kawasan Agropolitan Betun berada pada kawasan dengan ketinggian 5 – 400 meter di atas permukaan laut. Mengingat area ketinggian kawasan tersebut, maka secara morfologis kawasannya berada pada wilayah pesisir pantai
dan dan dataran rendah dengan kelerengan yang relatif datar yaitu antara 0 – 15 % dan sebagian kecil 25 – 40 % .

Kawasan Agropolitan Betun umumnya memiliki suhu rata-rata 27,60 C dengan kisaran 21,50 – 33,750 C, dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan Nopember dan suhu terendah pada bulan Agustus. Lama penyinaran bervariasi antara musim kemarau dan musim hujan. Penyinaran pada musim kemarau sebesar 84,6 % sedangkan pada musim hujan sebesar 68,1 %. Sebagai wilayah dari Kabupaten Belu, Kawasan Betun beriklim semiarid, dengan curah hujan rata-rata 87,33 mm/tahun sampai 104,33 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 74 – 80 hari per-tahun. Dibandingkan dengan wilayah Utara Kabupaten Belu, maka kawasan Agropolitan Betun yang berada di wilayah Selatan Kabupaten Belu lebih subur dan mengandung keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang potensial sebagai modal dasar pembangunan dan potensi investasi yang menjanjikan. Disamping itu lahan-lahan pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian.

Kawasan Agropolitan ini merupakan kawasan pengembangan komoditas Kakao dan pengembangan kawasan khusus tanaman pangan dengan komoditas Padi sawah, Kacang Hijau dan Kacang Tanah. Juga sedang dikembangkan komoditas perkebunan Jambu Mente.

Peta Kawasan Agropolitan Betun

Thursday, October 29, 2009

Pengalaman Empiris

Pengalaman Empiris Penanganan Permukiman Perdesaan

Pengalaman empiris ini lebih kepada pemaparan ’track record’ program-program ke-PU-an khususnya Cipta Karya. Program yang dipeta-kan ini merupakan program yang berkaitan dengan pengembangan permukiman perdesaan sejak awal mula pengembangan perdesaan potensial. Program-program tersebut adalah; program DPP (Desa Pusat Pertumbuhan) yang menekankan pengembangan potensi-potensi (sebagai embrio) pusat pertumbuhan pada permukiman perdesaan; dan selanjutnya dikembangkan menjadi KTP2D (Kawasan Terpilih Pusat Pengembangan Desa) dengan varian-variannya yang lebih membuka jaringan kerja antara pusat dan hinterland sebagai pengembangan potensi (KTP2D inilah yang menjadi basic pemikiran dasar dari program-program pengembangan permukiman perdesaan); berikutnya sampai dengan program-program lain seperti Agropolitan, Minapolitan dan KTM (Kota Terpadu Mandiri) yang mencoba mengintegrasikan dan mengembangkan KTP2D dengan skala lebih tinggi dan integrasi sektor yang lebih luas.

Kebijakan program ke-PU-an, berbagai program pengembangan permuki
man perdesaan di atas dapat distrukturkan sebagai berikut :
1) Program pengembangan Program pemberdayaan komunitas perumaha
n yang mencakup;
  • Kegiatan desa pusat pertumbuhan (DPP)
  • Kegiatan KTP2D
  • Kegiatan kota terpadu mandiri (KTM)
2) Program pengambangan ekonomi lokal yang mencakup;
  • Kegiatan agropolitan
  • Kegiatan minapolitan
3) Program peningkatan prasarana dan sarana perdesaan yang mencakup Kegiatan peningkatan pembangunan infrastruktur perdesaan (PPIP)

KEGIATAN DPP
Kegiatan DPP merupakan salah satu kegiatan yang ditujukan untuk mendukung Pengembangan Wilayah, dimana skala penanganannya bukan hanya mengembangkan “Desa Pusat” tetapi diperluas dengan mengembangkan juga “Desa-Desa Hinterlandnya” (ditangani dengan skala kawasan), dengan menitikberatkan kepada penyediaan “Prasarana dan Sarana Da
sar Perdesaan” yang dapat menunjang tumbuh dan berkembangnya “Kegiatan Ekonomi Perdesaan”, dan diharapkan dapat mendorong percepatan Industrialisasi perdesaan yang berbasis pertanian.

DPP adalah desa dengan intensitas kegiatan tinggi maka diartikan sebagai desa pusat pertumbuhan. Bagian dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi desa potensial di suatu wilayah. Apakah suatu desa berpotensi menjadi DPP (Desa Pusat Pertumbuhan) ? Hal tersebut dapat dicek dengan :
  1. Potensi desa (PODES) untuk mengidentifikasi potensi sosial ekonomi suatu desa
  2. Kondisi tata ruang dan geografi desa digunakan Peta Indek Desa dan dilakukan pengecekan bersama dengan aparat setempat.
Desa Pusat Pertumbuhan juga memiliki fungsi sebagai :
  1. Pusat industri pertanian
  2. Pusat pemasaran bagi barang petanian dan non pertanian
  3. Pusat pelayanan sentral bagi daerah sekitarnya.

KEGIATAN KTP2D
KTP2D merupakan salah satu pendekatan pembangunan kawasan perdesa
an melalui penyediaan prasarana dan sarana yang dapat menunjang tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi perdesaan.
Dari pengertian tersebut, maka dalam satu wilayah kabupaten akan terbentuk satuan-satuan KTP2D dengan satu DPP sebagai pusatnya dan desa-desa lain (hinterland) sebagai desa pendukung yang memiliki keunggulan strategis.

Konsep dasar implementasi KTP2D

Beragamnya ciri khas perdesaan diIndonesia, maka sangat dimungkinkan adanya beberapa alternatif bentuk KTP2D, sebagai berikut :

1) Terdiri dari satu DPP dengan beberapa desa hinterland sekitarnya

Profil KTP2D seperti diatas, biasanya berada di desa-desa di P Jawa dan P Bali atau kecamatan yang berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan yang ordenya lebih tinggi dan berciri lebih maju dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dan kegiatan ekonomi yang sudah lebih mapan.
Untuk profil kawasan seperti dimungkinkan adanya hinterland yang lebih dari 4 (empat), namun sesuai dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas kawasan sebaiknya ditetapkan hanya 5 (lima) desa termasuk Desa Pusat.

2) Terdiri atas satu DPP dengan hinterlandnya berupa desa dan atau bagian dari desa

Profil KTP2D sebagaimana digambarkan diatas menunjukkan bahwa keterkaitan antara hinterland dengan desa pusat dan antar hinterland bisa terjadi tidak menyeluruh artinya hanya bagian-bagian parsial didesa hinterland yang punya keterkaitan dengan desa pusat maupun dengan hinterland lainnya. Namun demikian pengambilan data dan atau sebutan desa hinterlandnya tetap pada desa induknya secara keseluruhan.

3) KTP2D yang antara desa dan hinterland dengan desa pusat dibatasi oleh sungai. Penentuan hinterland berupa dusun didasarkan atas jarak capai/radius keterkaitan serta kete
rgantungan dusun-dusun tersebut pada DPP bersangkutan dibidang ekonomi dan pelayanan lainnya.

Hal tersebut dimungkinkan apabila pencapaian antara desa pusat dengan hinterlandnya relatif mudah, disamping itu memang diantara keduanya punya ikatan dan keterkaitan baik dibidang ekonomi maupun pemerintahan.

KEGIATAN AGROPOLITAN/MINAPOLITAN
Berdasarkan buku Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan & Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian, Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya dan Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk Kawasan Agropolitan.


Konsep agropolitan terdiri dari distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2. Dalam distrik agropolitan ini akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10.000–25.000 jiwa. Batas distrik dinyatakan dalam radius sejauh 5–10 km atau kurang lebih setara dengan 1 (satu) jam perjalanan dengan sepeda. Dimensi luasan geografis wilayah agropolitan ini akan menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000–150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Disini tidak membedakan secara spesifik bentuk pertanian modern atau tidaknya, tetapi lebih cenderung menggunakan referensi pertanian modern di Amerika atau di Eropa.

Menurut definisi ini apabila besaran penduduk ya
ng menjadi ukuran, maka suatu distrik agropolitan setara dengan 1 (satu) Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) pemukiman transmigrasi. Namun bila dilihat dari luas wilayahnya sekitar 100–250 km2 atau 10.000–25.000 ha (ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1 WPP). Secara administratif, luasan wilayah dan besaran penduduk ini setara dengan luasan wilayah kecamatan yang berpenduduk sampai dengan 25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi.

Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Agropolitan distrik perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawaan perdesaan yang telah dikenal sejak lama. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar di perdesaan, mengingat volume permintaan dan penawaran yang masih terbatas dan juga jenisnya.

Strukur Kawasan agropolitan dapat dikategorikan atas Orde Pertama (Kota Tani Utama), Orde Kedua (Pusat Distrik Agropolitan atau Pusat Pertumbuhan), dan Orde Ketiga (Pusat Satuan Kawasan Pertanian). Jarak antara Kota Tani Utama dengan pusat pertumbuhan yang sudah berkembang berkisar antara 35–60 km yang disesuaikan dengan kondisi geografis wilayah dan antar kota tani (orde 2 dan orde 3) yang berada dalam satu distrik agropolitan, berjarak antara 15–35 km. Setiap orde kota berfungsi sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi dengan skalanya masing-masing, berjenjang (hierarkis), merupakan pusat pelayanan permukiman dan antar simpul dihubungkan oleh jaringan transportasi yang sesuai.

Batas suatu Kawasan Agropolitan tidak terpaku oleh batas administrasi pemerintah (Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota), tetapi lebih fleksibel d
engan menyesuaikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan Kawasan Agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis di daerah.

Konsep implementasi Agropolitan (sumber: Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan, Kimpraswil 2000)


KEGIATAN KTM
KTM atau Kota Terpadu Mandiri adalah kegiatan menata kembali kawasan-kawasan transmigrasi yang relatif belum berkembang, serta menarik minat kaum muda untuk ikut program transmigrasi.
KTM di kawasan transmigrasi, adalah sebuah program yang dirancang secara holistik dan komprehensif layaknya membangun kawasan transmigrasi yang bernuansa perkotaan. Dengan dibangunnya KTM diharapkan terjadi akselerasi perekonomian ped
esaan dan terwujudnya Kawasan Transmigrasi yang mandiri.

KTM di Kawasan Transmigrasi adalah kawasan transmigrasi yang pembangunan dan pengembangannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Pencantuman kata "kota" dalam pengertian tersebut dimaksudkan untuk menyatukan visi tentang kawasan transmigrasi yang akan dibangun dan dikembangkan memenuhi fungsi-fungsi perkotaan. Sehingga program transmigrasi ke depan diharapkan secara psikologis mempunyai dampak positif untuk menarik minat kaum muda bertransmigrasi, sekaligus mengurangi terjadinya perpindahan penduduk yang tidak terarah ke kota-kota besar (deurbanisasi) serta sebagai kota penyangga dalam konteks pembangunan perwilayahan.

Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi perkotaan adalah tersedianya berbagai fasilitas yang meliputi :
1) Pusat kegiatan ekonomi wilayah;
2) Pusat kegiatan industri pengolahan hasil;
3) Pusat pelayanan jasa dan perdagangan;
4) Pusat pelayanan kesehatan;
5) Pusat pendidikan dan pelatihan;
6) Sarana pemerintahan;
7) Fasilitas umum dan sosial

Pembangunan dan pengembangan KTM ini harus dilaksanakan secara bersama oleh lintas sektor dan lintas pemerintahan. Koordinasi merupakan kata yang mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan. Pada masa lalu dikenal lembaga BAKOPTRANS yang menjadi wadah koordinasi penyelenggaraan transmigrasi. KTM bertujuan untuk merevitalisasi fungsi koordinasi penyelenggaraan transmigrasi sehingga menjadi integrated development planning process yang melibatkan: Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Dalam Negeri; Departemen Kehutanan; Departemen Keuangan; Departemen Pertanian; Departemen Pendidikan Nasional; Departemen Perdagangan; Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata; Departemen Perhubungan; Departemen Kelautan Dan Perikanan; Departemen Kesehatan; Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal; Kementerian Negara Koperasi Dan UKM; Kementerian Negara Perumahan Rakyat; Badan Pertanahan Nasional; Badan Koordinasi Penanaman Modal; Departemen Perindustrian;

PPIP (PROGRAM PENINGKATAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN)
Fokus utama PPIP adalah rehabilitasi dan peningkatan infrastruktur di perdesaan. Kaidah pelaksanaan program secara umum akan mengacu pada ketentuan-ketentuan teknis yang telah ditetapkan dalam PKPS-BBM IP pada tahun 2005 dengan lebih menekankan partisipasi aktif dari masyarakat, stakeholder dan pemerintah daerah.

Ruang Lingkup PPIP adalah:
  1. Peningkatan infrastruktur yang mendukung aksesibilitas, yaitu: jalan dan jembatan perdesaan;
  2. Peningkatan infrastruktur yang mendukung produksi pangan, yaitu: irigasi perdesaan;
  3. Peningkatan infrastruktur yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu: penyediaan air minum, dan sanitasi perdesaan. Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk satu infrastruktur atau lebih serta dapat dilaksanakan secara terpadu.
PPIP memiliki tujuan jangka panjang dan jangka menengah, yaitu:
  1. Tujuan jangka panjang adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;
  2. Tujuan jangka menengah adalah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dan yang mendekati miskin ke infrastruktur dasar di wilayah pedesaan.

Sasaran Kegiatan PPIP adalah:
  1. Tersedianya infrastruktur perdesaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, berkualitas, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan;
  2. Meningkatnya kemampuan masyarakat perdesaan dalam penyelenggaraan infrastruktur perdesaan;
  3. Meningkatnya lapangan kerja bagi masyarakat perdesaan;
  4. Meningkatnya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam memfasilitasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan di perdesaan;
  5. Mendorong terlaksananya penyelenggaraan pembangunan prasrana perdesaan yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.